Bendera Darah dan Air Mata Kami

Karya Saini KM


Telah kami pertahankan bagimu suatu ruang di langit
Berkibarlah s’lalu ! lambailah angkatan-angkatan yang akan datang
dari ufuk sejarah. Biarlah mereka tengadah padamu senantiasa
Bawah hujan darah, bawah taufan api !

Kami yang datang hari ini dan yangbernaung di kakimu
telah jauh berjalan, melangkahi mayat sanak sendiri
Kami yang kini tegak beradu bahu di sini, yakni akan kebesaran
semangat kami yang dilambangkan oleh kedua warnamu.

Bendera darah dan air mata kami, berkibarlah, berkibarlah !
Kami masing-masing tak mampu memberi lebih dari pada satu nyawa
dan tangan-tangan yang akanjadi kaku selagi memegang tiangmu
sepasang tangan di antara berjuta, yang datang dan yang pergi.

Nah siapakah Saini KM ini?

Saini K.M

Lahir di Kampung Gending, Desa Kota Kulon, Sumedang, Jawa Barat, 16 Juni 1938, anak kedua dari sepuluh bersaudara itu sudah sejak kecil, berada dalam lingkungan pencinta seni. Masyarakat tempat di mana keluarganya tinggal, hidup sebagai perajin membuat barang-barang kerajinan yang terbuat dari tembaga, besi, kuningan, emas, dan perak. “Ayah dan kakek saya perajin perhiasan emas”, katanya. Jika malam tiba, kampung itu sesuai dengan namanya, berubah menjadi kampung seni yang hampir tidak mengenal sepi. Masyarakatnya giat berkesenian. Sejak petang hingga larut malam selalu terdengar bunyi tetabuhan. Ada yang memainkan kecapi, ada yang bermain keroncong atau pencak silat.

“Kakek saya memainkan gambang, sedangkan ayah saya pemain kecapi dan suling. Ia memiliki kelompok pemain kecapi-suling”, katanya mengenang masa kecilnya. Karena rumah kakeknya cukup luas dan memiliki seperangkat gamelan, Saini kecil ikut menabuh gamelan, celempungan atau waditra (instrumen) lainnya. Pengalaman bathin itu pula yang kemudian membawanya sebagai pemain musik, bahkan di daerah asalnya ia lebih dikenal sebagai musikus. Namun, karena sering bermain malam hari, daya tahan fisiknya menurun sehingga ia harus meninggalkan kesenangannya.

Alumnus Jurusan Sastra Inggris Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang menjadi cikal bakal Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) itu, atas saran gurunya dari Inggris, William Philips Payne, memilih puisi sebagai bidang yang digeluti. “Tidak mungkin menggeluti begitu banyak pilihan”, katanya. Puisinya pertama kali dimuat di majalah Siasat pada tahun 1960. Ketika itu, wesel honorariumnya yang diterima, membuatnya terkejut dan girang.

Kecintaan Saini KM kepada puisi sangat boleh jadi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh yang diterima pada masa kecilnya. Ia masih bisa mengenang dengan segar bagaimana ayahnya membacakan macapat sehingga tanpa disadari ketajaman rasa keindahannya makin terasah. Ketika menjadi mahasiswa, ia sering membacakan dan mendeklamasikan puisi-puisi karya Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sitor Situmorang, dan W.S Rendra.

Kecintaan itu masih berlanjut, terbukti ketika pematung dan perupa Sunaryo menyelenggarakan upacara pelepasan selubung hitam patung-patungnya sebelum dipamerkan di Amerika Serikat. Seperti pengalaman di masa mudanya, malam itu seorang ibu tak mampu menahan rasa harunya setelah mendengar Saini K.M mendeklamasikan sajak-sajaknya. Dalam bidang puisi, Saini K.M memang sering dianggap guru yang banyak membidani penyair-penyair muda di Bandung. Melalui rubrik Pertemuan Kecil di Harian Pikiran Rakyat, selama 19 tahun ia dengan setia dan ketekunan yang luar biasa, menyeleksi dan kemudian memberi ulasan sajak-sajak yang akan dimuat, setelah sebelumnya selama empat tahun lamanya mengasuh rubrik Kuntum Mekar di harian yang sama.

Di kemudian hari, himpunan tulisan-tulisan tersebut dibukukan Agus R. Sardjono dengan judul Puisi dan Beberapa Masalahnya tahun 1995. Minatnya yang besar pada teater telah mendekatkan dirinya dengan Studiklub Teater Bandung (STB) dan kemudian menulis naskah drama dan sandiwara.

Lima Orang Saksi yang mengantarkan dirinya meraih penghargaan SEA Write Award pada tahun 2001, merupakan kumpulan dari lima naskah dramanya yang ditulis dalam kurun waktu 12 tahun. Masing-masing Ben Go Tun tahun 1977, Egon tahun 1978, Dunia Orang-orang Mati tahun 1986, Madegel tahun 1987, dan Orang Baru tahun 1989.

Dua dari lima naskah drama tersebut, Ben Go Tun merupakan naskah drama pemenang Sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1977 dan 1978, sementara Madegel sendiri pernah dipentaskan di Jepang pada tahun 1987. Pada setiap pementasan karya-karyanya, Saini K.M selalu berusaha menyaksikan. Yang ditonton bukan hanya pagelarannya, tetapi juga bagaimana sikap penonton. “Saya menonton para penonton”, katanya.

Dalam usianya yang sudah mencapai di atas 60 tahun itu ia masih terus aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan ilmiah. Usia sama sekali tidak mengurangi semangatnya menulis. Kadangkala sampai lewat tengah malam ia masih bekerja menghadapi layar monitor komputer. “Tadi malam sampai pukul 01.00”, katanya.

Sastra lakon karya Saini K.M yang berjudul Sebuah Rumah di Argentina tahun 1980 memenangkan hadiah dalam Sayembara penulisan yang diadakan oleh Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB) Jakarta Raya. Esai tentang teater yang ditulis Saini K.M terhimpun dalam buku Beberapa Gagasan Teater terbitan Nurcahaya tahun 1981. Dramawan dan Karyanya terbitan Angkasa tahun 1985. Teater Modern dan Beberapa Masalahnya terbitan Binacipta tahun 1987. Peristiwa Teater terbitan ITB tahun 1996. Pada tahun 1999 terbit himpunan karya lakonya Ben Go Tun, Dunia Orang Mati, Madegel, dan Orang Baru”dalam satu judul Lima Orang Saksi. Himpunan karya lakon itu diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku pada tahun 2000.

Madegel pernah dipentaskan di Jepang pada tahun 1987. Ken Arok dan Sepuluh Orang Utusan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Renate Sterngal. Bersama Jakob Sumardjo, Saini K.M menulis buku Apresiasi Kesusastraan terbitan Gramedia tahun 1986 dan Antologi Apresiasi Kesusastraan yang juga dterbitkan oleh Gramedia ditahun 1986 untuk siswa sekolah menengah lanjutan atas. Selain itu, ia juga menulis buku untuk anak-anak, yaitu Cerita Rakyat Jawa Barat terbitan Grasindo tahun 199). Pada tahun 1960—1994 Saini menjadi pengasuh kolom puisi harian umum Pikiran Rakyat. Berbagai tulisan kritisnya tentang puisi karya penyair muda yang dimuat harian Pikiran Rakyat itu diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Puisi dan Beberapa Masalahnya terbitan ITB, tahun 1993. Berkat kegiatannya yang tidak pernah lelah dalam mengasuh para penyair remaja, Saini mendapat Anugerah Sastra dari Yayasan Forum Sastra Bandung pada tahun 1995.

Pada tahun 1988-1995 Saini dipercaya menjadi Direktur ASTI Bandung (serkarang STSI). Selepas itu, pada tahun 1995-1990, Saini K.M menjabat Direktur Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depdikbud. Saini K.M juga tercatat sebagai anggota Konsorsium Seni sejak tahun 1994 dan sebagai anggota Komisi Disiplin Seni sejak tahun 1999. Ia juga aktif dalam penyelenggaraan Art Summit Indonesia. Pada tahun 2001 Saini K.M menerima penghargaan Hadiah Sastra Asia Tenggara 2001 (SEA Write Awards 2001) dari pemerintah Thailand.

(Dari Berbagai Sumber)

Posting Komentar

0 Komentar