Menikahkah Aku?

Hati saya selalu berkata bahwa menikah adalah hal yang sangat kodrati dan sunnatulloh, karena pernikahan tidak bisa dijabarkan dengan perhitungan al-jabar.
Apakah pernikahan terhalang oleh materi? Tidak. Sebenarnya tak ada. Jika kesiapan menikah diukur dengan materi, maka betapa ruginya orang-orang yang duafa. Begitu juga dengan kesiapan-kesiapan lain yang bisa diteorikan seperti kesiapan emosi, intelektual, wawasan dan sebagainya. Selalu tak bisa dimatematiskan. Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa menikah adalah sesuatu yang sangat kodrati.
Bukan berarti saya menyalahkan teori-teori kesiapan menikah yang telah dibahas dan dirumuskan oleh para ustadz. Tentu saja semua itu perlu sebagai wacana memasuki sebuah dunia ajaib bernama keluarga itu.
Sedikit contoh saja, banyak pemuda berpenghasilan tinggi, namun belum juga merasa siap untuk menikah. Belum cukup ini lah, itu lah berbagai alasan yang mereka katakan yang paling mudah dijumpai. Dengan gaji sekarang saja saya hanya bisa hidup pas-pasan. Bagaimana kalau ada anak dan istri? Oya, saya juga belum punya rumah.

Apakah kalau aku menunggu gajiku cukup, maka aku tak akan pernah menikah. Bisa jadi besok Allah menghendaki gajiku naik tiga kali lipat. Tapi percayalah, pada saat yang bersamaan, tingkat kebutuhanmu juga akan naik. bahkan lebih tiga kali lipat.
Saat seseorang tak memiliki banyak uang, ia tak berpikir pakaian berharga serta gadget tertentu seumpama televisi, laptop atau mungkin hp merek mutakhir. Saat tak memiliki banyak uang, makan mungkin cukup dengan menu sederhana yang mudah ditemui di warung-warung pinggir jalan. Tapi bisakah demikian saat Anda memiliki uang? Tidak akan. Selalu saja ada keinginan yang bertambah, lajunya lebih kencang dari pertambahan kemampuan materi. Artinya, manusia tidak akan ada yang tercukupi materinya.
Menikah adalah sebuah elemen kodrati sebagaimana rezeki dan juga ajal. Tak akan salah dan terlambat sampai kepada setiap orang. Tak akan bisa dimajukan ataupun ditahan. Selalu tepat sesuai dengan apa yang telah tersurat pada awal penciptaan anak Adam.
Menikah adalah salah satu cara membuka pintu rezeki, itu yang pernah saya baca di sebuah buku. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Menikahlah maka kau akan menjadi kaya.” Mungkin secara logika akan sangat sulit dibuktikan statemen-statemen tersebut. Taruhlah, pertanyaan paling ribet dari makhluk bernama manusia, Bagaimana mungkin saya akan menjadi kaya sedangkan saya harus menanggung biaya hidup istri dan anak?
Dalam beberapa hal yang berkaitan dengan interaksi sosial juga tidak bisa lagi saya sikapi dengan simpel. Contoh saja, kalau ada tetangga atau teman yang hajatan, menikah dan sebagainya, saya tentu saja tidak bisa lagi menutup mata dan menyikapinya dengan konsep-konsep idealis. Saya harus kompromi dengan tradisi; hadir, nyumbang, ngamplop yang ini berarti menambah besar pos pengeluaran. Semua itu tak perlu menjadi beban saya pada saat saya belum berkeluarga.
Saat saya dihadapkan pertanyaan “menikah” pertama kali dalam hidup saya, saya sempat maju mundur dan gamang dengan wacana-wacana semacam ini. Lama sekali saya menemukan keyakinan “belum jawaban, apalagi bukti” bahwa seorang saya hanyalah menjadi perantara Allah memberi rezeki kepada makhluk-Nya yang ditakdirkan menjadi istri atau anak-anak saya.
Mampukah saya untuk menjadi perantara Rizki dari Alloh bagi istri dan anak-anak saya. Kita tunggu Jawabannya apabila saya telah menikah kelak.

Posting Komentar

0 Komentar